Beethoven
Moonlight Sonata, Op. 27, No. 2, Mvt. 1
Beethoven, apakah yang kau rasakan ? Apa yang terasa bergetar di hatimu ? Mungkinkah kau sedang merenungi nasibmu, cintamu. Ketika kau menekan kunci-kunci itu, apa yang kau ingin ungkapkan, apa yang ada di benakmu. Sementara kegelapan di luar semakin pekat. Kegelapan.
Itu kah yang kau rasakan dalam hatimu. Kau merasa berada di dalam kegelapan yang amat pekat, sampai kau tak bisa melihat dirimu sendiri. Kau kehilangan dirimu, siapa aku, siapa aku. Dimana aku. Apakah kau mendengar jeritan itu ? Jeritan sunyi dari relung hatimu yang paling dalam. Tak terdengar. Tak terlihat. Tapi kau merasakannya. Bersama tiap-tiap nada, kau mainkan begitu sempurna.
Apakah kau menghempaskan dirimu ke kiri dan ke kanan ? Apakah kau tahu bagian mana yang kiri dan kanan. Hanya untuk mencari lantai, benda, apapun yang bisa kau pegang. Apakah kau merasa sedang jatuh. Jatuh. Ke dalam kegelapan yang pekat. Bagaimana rasanya ? Dingin, hangat ? Apakah kau masih bisa merasakan keduanya ? Apakah kau masih bisa merasakan apapun. Kau sendirian. Sendirian. Sendiri. Gelap. Pekat. Sunyi
Sunyi. Hening.
Mengapa ini terjadi ? Mengapa ? Mengapa ? Karena aku tidak sempurna. Karena aku lemah. Aku adalah pengecut terbesar di dunia. Aku adalah seorang invalid, seorang cacat. Lebih. Aku adalah sampah. Beethoven, composer besar dunia, yang tuli. Tuli. TULI. Apakah kau dengar itu, Beethoven ? Haa, tentu tidak, kau kan tuli. Walau untuk sementara, kau masih bisa bersembunyi dalam kegeniusanmu. Ataukah kegilaanmu ? Yah, aku gila. GILA. Bagaimana lagi menjelaskan apa yang terjadi ?
Lihat itu. Lihat si komposer tuli memainkan piano, ia mungkin tak tahu lagi kunci-kunci apa yang sedang dimainkannya. Ia hanya seorang invalid tak berguna. Sebentar lagi dunia akan membuangnya, menaruhnya di tempat yang dingin dan gelap, dan menguncinya untuk selama-lamanya.
Bagaimana kau memandang dirimu sekarang, Beethoven ? Apakah kau akan membuat suatu karya besar terakhir dan kemudian hilang, hilang untuk selama-lamanya. Bagaimana ? Apakah kau mau memperlihatkan kepada dunia, kehancuran. Kehancuran. Kehancuran dirimu. Dunia tak peduli, dunia tak akan menunggu. Jadi bagaimana. Bagaimana kau akan pergi ?
Tidak. Aku bisa merasakannya. Aku hidup. Walau dalam kegelapan yang pekat, dalam kesendirian yang menyakitkan, aku hidup. Dalam keheningan. HIDUP. Dan musik yang kuciptakan akan tetap hidup bersamaku. Ia ada dalam darahku, mengalir bersama. Ia menghirup udara yang kuhirup. Ia adalah diriku.
Dalam keheningan itu, aku ada, aku hidup.
Aku adalah Beethoven. Tidak ada yang bisa menyaingi aku. Dan kau pun tak bisa memaksaku. Aku akan hidup. Hidup, dalam duniaku sendiri. Dan mencipta sonata-sonata lain. Sementara jiwaku yang sedih mengeluarkan dirinya dalam ciptaanku. Dan hatiku yang tersiksa bergetar seirama dengan nada-nada sonata ini. Kesedihanku tak terperi, kepahitan hidupku tak terbatas. Tapi aku akan hidup. Karena aku bukanlah pengecut. Aku akan tunjukkan kepadamu, kepada dunia. Beethoven tak akan hilang, dia akan menorehkan tanda tangannya di alam semesta.
Biarkan sonata ini menjadi saksiku, wasiatku. Bahwa Beethoven tetap hidup. Hidup sebagai manusia. Manusia.
immortal beloved
the edge of an existensialist universe.
Monday, February 24, 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment