the edge of an existensialist universe.

Monday, February 24, 2003

Identitas

There are only two ways in which we can account for a necessary agreement of experience with the concepts of its objects: either experience makes these concepts possible or these concepts make experience possible
Immanuel Kant, "Critique of Pure Reason"


Kata-kata Kant membuat saya berpikir tentang apa yang sedang terjadi pada negara ini. Begitu pula pertanyaan dan tanggapan beberapa teman dalam kesempatan-kesempatan tertentu, di mana kita mencoba memahami fenomena yang sedang terjadi. Seseorang pernah berkata kepada saya, setelah melihat begitu banyak iklan pemutih kulit, bahwa kecenderungan atau keinginan bagi orang-orang Indonesia untuk memutihkan kulitnya adalah suatu bentuk terselubung bahwa kita masih beranggapan bahwa kulit yang putih lebih baik, lebih desirable. Selanjutnya ia berkata bahwa itu merupakan salah satu bukti bahwa kita sebagai suatu bangsa masih mempunyai mental bangsa terjajah, dan menempatkan karakter-karakter bangsa penjajah sebagai sesuatu yang ideal. Begitu pula dengan kecenderungan masyarakat kita untuk melihat seseorang yang mempunyai gelar-gelar tertentu, apalagi bila didapat dari luar negeri, mengindikasikan tingkat kematangan secara intelektualitas dan emosional, yang sesungguhnya sangat-sangat bisa diperdebatkan. Dan hal-hal ini hanyalah beberapa contoh dari berbagai macam fenomena serupa yang terjadi dalam masyarakat. Form over substance.

Dalam pelajaran sejarah dan pendidikan kebangsaan yang penuh dogma dan propaganda, kita di’ajar’kan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang blah, blah, blah….. Bila saya membaca secara langsung karya-karya para pemikir besar bangsa Indonesia pada masa-masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, saya berkecenderungan untuk setuju pada pernyataan tersebut. Begitu banyak pemikiran-pemikiran yang jauh melihat ke depan, dan karya-karya mereka bukanlah tulisan yang hanya ‘cut and paste’, kutip sana-kutip sini, dan mencoba menganalisa kenapa suatu hal benar / cocok dan kenapa suatu hal salah / tidak cocok. Dalam beberapa hal, ide-ide yang keluar adalah ide-ide baru, atau paling tidak suatu interpretasi luas dan radikal akan ide-ide yang berkembang di masa itu.

Saat ini, saya tidak melihat banyaknya pemikir-pemikir besar ataupun pemikiran besar, sehingga sepertinya terjadi suatu intelectual gap antara masa-masa pasca kemerdekaan (sampai masa sebelum dekrit presiden 1959) dan saat-saat sekarang. Beberapa orang mengatributkan hal ini pada kebijakan pemerintah orde baru, terutama dalam bidang pendidikan. Kita melihat bagaimana penguasa berusaha untuk mendefinisikan, kata demi kata, konsep seorang manusia Indonesia seutuhnya , seakan-akan manusia Indonesia yang ada pada saat itu adalah bodoh, tak terpelajar, tak berbudi pekerti dan bukanlah intelektual-intelektual. Terlebih bukanlah hak pemerintah, maupun siapapun untuk menentukan kadar dan karakteristik seorang manusia.

Apakah identitas masyarakat Indonesia benar-benar seperti yang mereka (baca pemerintah dan sejarahwan) tuliskan, kata demi kata ? Apakah konsep-konsep kebangsaan kita sudah begitu hebatnya sehingga mereka ‘dianggap’ tidak memerlukan perubahan ? Mungkin pada suatu waktu, tetapi sepertinya sekarang tidak. Lagipula 32 tahun adalah waktu yang lama, hampir satu generasi, dan banyak hal-hal yang berubah sejak itu. Bangsa Indonesia seperti yang kita kenal dalam buku-buku dan artikel-artikel adalah bangsa yang ada di masa lampau dan telah melewati suatu proses transmogrifikasi - pembangunan, yang lebih merupakan proses dehumanisasi struktural suatu bangsa . Proses tersebut telah benar-benar merubah masyarakat dalam setiap segi kehidupan.

Apakah ide-ide / konsep-konsep yang ada dalam pengalaman kita sebagai bangsa masih relevan saat ini ? Semua pengalaman kita membentuk siapa kita, semua ide, semua konsep, semua dosa. Terlepas dari distorsi dan manipulasi sejarah yang terjadi, itu adalah sejarah kita, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari diri kita yang sebenarnya.
Mungkin sudah saatnya kita kembali mendefinisikan diri kita baik sebagai bangsa, sebagai masyarakat dan sebagai suatu negara. Kita memang kehilangan sesuatu yang menentukan siapa kita, identitas. Sama seperti sebuah model dengan asumsi-asumsi dasar yang sudah tidak berlaku lagi, hal-hal dan konsep-konsep yang selama ini kita yakini dan percayai tidaklah relevan. Konsekuensi logis dari pernyataan tersebut adalah kita memerlukan identitas baru - kita perlu mendefinisikan kembali siapa kita, dan kemana kita akan pergi.

Apakah identitas bangsa Indonesia, atau mungkin lebih tepat identitas bangsa yang berada di Indonesia ? Salah satu argumen klise yang sering digunakan adalah bahwa bangsa Indonesia adalah suku-suku bangsa yang mempunyai kesamaan nasib / nilai bersama. Kalau memang pada jaman kemerdekaan yang menjadi ‘faktor pemersatu ’ adalah penjajahan, maka saat ini, kesamaan tersebut adalah penindasan sistematik, terstruktur dan terencana, dimana semua hak-hak individu, terutama kaum minoritas di’korban’kan atas nama pembangunan, persatuan dan kesatuan.

Ini sangat jelas terlihat dalam kebijakan pemerintah mengenai hak-hak pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Begitu pula dengan kebijakan pemerintah dalam hukum, di mana hukum nasional diposisikan lebih tinggi daripada hukum adat / daerah. Dan ini adalah contoh-contoh penindasan yang terlihat jelas. Belum penindasan terhadap hak-hak anak dan perempuan, hak suku-suku terasing dan lain-lain yang tidak dapat selalu terlihat. Hak-hak individu, sebagai manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia, bukan karena ia percaya Tuhan, tunduk kepada hukum, atau mempunyai status dan kedudukan sosial ( dan ekonomi ) yang mapan.

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, ataupun mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Terutama karena saya bukanlah yang terpilih oleh rakyat, dan saya melepaskan hak meminta pertanggungjawaban mereka yang terpilih karena saya tidak memilih. Keputusan tersebut tidak akan dibuat oleh saya, maupun keluar dari forum kecil ini. Yang jelas diketahui 200 juta orang minus koruptor, kolutor dan nepotis (suatu jumlah yang sangat kecil) adalah bukan identitas yang berkarakteristik pemerintah pusat atau regim yang otoriter kembali.

Beberapa saat yang lalu, saya cukup beruntung untuk dapat duduk bersama dan berbincang-bincang dengan Pramoedya Ananta Toer, dan saya mengajukan pertanyaan bagi beliau. Saya memulai pertanyaan kepada pak Pram ( begitu beliau meminta dipanggil ), dengan menyatakan bahwa saya, sebuah produk keluaran Orde Baru, merasakan apa yang pernah dirasakannya, di mana identitas saya dirampas begitu saja, sejarah generasi saya hanyalah kebohongan besar yang ditutupi dengan kebohongan-kebohongan lain, dan bahwa saya memutuskan untuk memulai sejarah baru ( yang bebas dari campur tangan koruptor, kolutor dan nepotis ). Saya bertanya, apakah nasehat dari seseorang yang seluruh hidupnya dirampas, untuk para Pram-Pram muda diluar sana, kalau mereka, god forbid, mengalami apa yang ia alami.

Ia berkata, kebaikan dan kejahatan akan terus menerus bersama, dan pada saat-saat tertentu, kita harus membuat keputusan, apakah kita akan berjalan bersama orang lain, atau menyatakan apa yang sebenarnya terjadi.

Teruslah menulis, teruslah menulis kebenaran yang tidak diinginkan orang, yang diabaikan dan terkalahkan.

No comments:

Post a Comment