Kebenaran
( tambahan untuk Yudo dan Dewa )
I stick my finger into existence---It smells of nothing. Where am I? What is this thing called the world? Who is it who has lured me into the thing, and now leaves me here? How did I come into the world? Why was I not consulted? Soren Kierkegaard
Yudo mencoba menjelaskan pendapatnya akan ungkapan yang ditulis Dewa, bahwa ignorance is bliss. Perbolehkan saya untuk mencoba memperjelas ( memperumit ? ) pendapat Dewa tersebut.
( Ignorance ) Ketidaktahuan adalah suatu keadaan. Suatu state of mind. Ia menimbulkan suatu dorongan bagi manusia untuk mencari tahu dan mencoba mencari kebenaran atas masalah yang ia representasikan. Secara leksikal, lawannya adalah ( awareness ) kesadaran, di mana manusia telah mengenali masalah yang timbul, variabel-variabel apa yang langsung dan tidak langsung berhubungan dengan masalah tersebut, hubungan variabel-variabel tersebut dengan masalah. Pengetahuan ini disadurkan dari pengamatan atas fakta-fakta yang didapatnya, baik lewat indranya maupun pemikiran-pemikirannya . Beberapa orang menyebut kesimpulan yang didapat sebagai suatu kebenaran.
Akan tetapi, ini adalah suatu perangkap bagi mereka yang mempelajarinya. Kesimpulan tersebut bukanlah kebenaran. Ia hanyalah suatu model yang mencoba menyederhanakan hubungan antar variabel dengan objek pengamatan, ia adalah suatu simplifikasi dari fakta-fakta yang didapat. Kebenaran, sebagian besar ditentukan oleh manusia itu sendiri, dengan menganggap bahwa kesimpulan tersebut, dapat diterimanya. Kita mencoba memuaskan premis-premis universalian dengan memperluas banyaknya eksperimen dan pengamatan, dan kemudian mencoba menguji postulat yang didapat dengan pengamatan manusia-manusia lain. Thus, lahirnya konsep komunikasi.
Kembali kepada kebenaran, jadi model 'kebenaran' tersebut, telah dikontaminasi oleh berbagai ide dan konsep yang ada dan membentuk siapa diri kita, dan juga dari orang-orang lain dengan siapa kita berkomunikasi, dan kebudayaan / nilai-nilai dimana kita hidup. Walaupun kita dapat berdalih dengan mengatakan bahwa hampir semua orang atau kejadian tersebut menyatakan bahwa pendapat itu benar, kunci pernyataan tersebut ada di dalam kata pendapat . Kita berpendapat, bahwa berdasarkan pengamatan dan pengujian yang kita lakukan atas beragam usaha pengamatan dan pengamat bahwa sesuatu itu benar. Kebenaran tidak terletak pada banyaknya sample ataupun fakta yang mendukungnya. Kebenaran terletak pada dirinya sendiri.
Jadi, ketidaktahuan ( keadaan yang menyebabkan kita untuk menjawab ) tidaklah rasional, dan tidak mempunyai dasar logika apapun. Kenapa ? Karena manusia pada umumnya telah, akan, dan selalu menentukan kebenaran yang menjadi jawaban ketidaktahuannya. Manusia bukanlah paduan dari akal dan emosi, rasio dan libido. Manusia adalah kemanusiaan .
Dewa mengatakan bahwa ketidaktahuan pada akhirnya akan mengantarkan kita ke dalam keadaan dimana kita menyadari betapa besar ternyata ketidaktahuan kita, dan kemudian kembali mencoba mencari 'tahu' / menjawab 'ketidaktahuan' kita yang baru. Ini berlangsung terus-menerus.
Ketidaktahuan tidak secara otomatis memerlukan jawaban / solusi. Kitalah yang memilih untuk menjadi 'tahu', dan meninggalkan 'ketidak-tahuan'. Dan dalam mencari jawaban tersebut, kita mendistorsikan jawaban tersebut dengan ide-ide dan konsep-konsep kita. 'Kebenaran' sebagaimana kita mendefinisikan jawaban atas ketidaktahuan, dibangun dengan batu bata 'konsep' dan semen 'kausalitas'.
Kenapa ? Karena, sekalilagi, ketidaktahuan adalah keadaan yang kita alami, dimana kita dapat (1) tidak tahu bahwa kita tidak tahu, (2) tahu kita tidak tahu, (3) mengacuhkan ke-tidak tahu-an kita (4) menjawab ke-tidak tahu-an tersebut. Dua preposisi pertama menyiratkan adanya kesadaran kita akan sesuatu, dan dua preposisi berikutnya menyiratkan tindakan kita akan kesadaran tersebut.
Jadi mengapa beberapa orang memilih untuk tidak tahu ? Karena tidak semua orang tahan masuk dalam perangkap dialektika ide. Kalau menurut Aristotle, memang itu bukanlah masalah yang harus dibahas oleh orang 'kebanyakan'. Ini mungkin yang ingin disampaikan oleh Dewa. Saya sendiri lebih percaya bahwa hampir semua orang tidak mau menjawab ketidaktahuannya, karena ia akan sampai ke titik dimana ia harus mempertanyakan semua ide, semua konsep, yang telah membentuk dirinya, orang-orang disekitarnya, dan masyarakat dimana ia hidup. Ini berarti bahwa ia harus menghancurkan kepercayaan-kepercayaan lama ( yang kemungkinan besar memang salah / atau paling tidak, tidak cukup lengkap ), dan membentuk konsep-konsep baru.
Tetapi ini bukan suatu proses tesis-antithesis-sinthesis murni, seperti yang diungkapkan oleh Hegel. Tidak. Kenapa ? Tidak ada seorangpun, di masa lalu, saat ini dan masa mendatang yang dapat melepaskan seluruh konsep dan ide yang sudah ada dan kemudian membangun konsep dan ide baru yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan proses tersebut. Kita hanya dapat (1) menyadari keberadaan mereka, (2) melihat pengaruh-pengaruh mereka akan proses pembuatan keputusan kita, (3) dan akan perumusan masalah yang dihadapi, (3) dan akhirnya, mencoba menjelaskan mengapa kita mendefinisikan suatu jawaban, dalam suatu cara tertentu, dengan alasan-alasan tertentu. Seperti suatu contingent approach. Inilah inti filosofi, bukan alat untuk mencari jawaban, dan jelas bukan jawaban itu sendiri. Tetapi lebih kepada alat untuk membuat kita 'sadar' akan diri kita, dan mengapa 'kita' adalah kita.
Masalah berikutnya adalah pelaku dari pencarian jawaban ketidaktahuan. Manusia. Semua hal dibentuk oleh susunan, kondisi dan proses yang berbeda, dalam segala hal ( fisiologis, psikologis, sosiologis ). Jadi sangatlah absurd untuk menyatakan bahwa kebenaran yang berlaku dan ditemukan oleh satu manusia akan berlaku ( tanpa proses 'penyesuaian' lebih lanjut ) untuk manusia lainnya, apalagi untuk suatu komunitas besar seperti negara, dan dunia. Ini belum ditambah munculnya kesalahan dan kekeliruan dalam proses komunikasi ( apalagi dalam dunia dimana media propaganda sudah begitu dalamnya masuk dalam kehidupan tiap manusia ). Ditambah, munculnya 'relativisme' pemikiran dan nilai-nilai masing-masing orang, kelompok, di mana, (1) pemikiran antara manusia dapat begitu berbeda, (2) ketidakpatutan dan ketidaklayakan seseorang untuk menilai tindakan orang lain hanya dengan 'ukuran' dirinya, atau 'ukuran' seseorang yang dianggap layak oleh masyarakat. Bukankah ini yang menyebabkan manusia sebagai suatu spesies sering terjebak dalam 'tirani mayoritas' ? ( bukan... )
Tidak ada suatu konsep manusia yang universal dan absolut. Hah, tidak ada sesuatu pun yang universal dan absolut . All 'things' are variables in the long run. Jadi tidak ada esensi manusia, tidak ada kebenaran absolut, apalagi universal. Non. Nada. Nyet. Kenapa, karena kita ( manusia ) hidup, hidup dalam kehidupan yang dinamis, dalam samudera konflik ide dan konsep, terjebak lingkaran setan untuk selalu, terus menerus mendefinisikan dirinya dan dunianya. Sesuatu yang absolut hanya terjadi pada suatu titik kejadian dalam waktu, dan sesuatu yang universal hanya terjadi dimana semuanya menjadi satu.
Sudah mengerti kenapa bebeberapa orang bilang ignorance is bliss ?
Jadi untuk apa menjawab pertanyaan-pertanyaan ? Apa tujuan hidup kalau kita harus terus menerus menjalani siksaan filosofi, etika, dan ilmu ? Untuk mencari 'tahu' ? Kalau begitu, seharusnya kita nggak usah tahu, kita nggak mau tahu. Dasar Adam, kalau dia tahu, mungkin kita semua nggak perlu menjalankan ini semua.
Bagi saya, jawabannya ada di ( luar ? ) sana. Hidup. Diantara semua makhluk yang 'diciptakan' Tuhan, manusialah yang benar-benar 'hidup'. Manusialah yang senantiasa mendurhakakan dirinya dengan mencoba menjadi Tuhan, because man was created in His image. ( atau hers mungkin ? ). Dan bersama kutukan dan siksaannya tersebut, Tuhan memberikan karunia yang terbesar dan terindah that one of its creation could ever hope for.
Kebebasan.
Dan cinta.
Sekarang, pertanyaannya adalah bagaimana kamu hidup ? Bagaimana kamu mendefinisikan hidupmu dan dirimu ? Bagaimana dirimu mencintai dirimu dan hidup ? Bagaimana kau bisa membuat hidup ini berharga dan indah.
Apapun jawabanmu. The choice is yours.
The most spiritual human beings, assuming they are the most courageous, also experience by far the most painful tragedies: but it is precisely for this reason that they honor life, because it brings against them its most formidable weapons
Friedrich Nietzsche, "Twilight of the Idols"
the edge of an existensialist universe.
Monday, February 24, 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment