Strength and honor
Kata-kata diatas saya kutip dari Gladiator, salah satu dari beberapa film yang saya ingin tonton musim panas ini. Seperti semua orang yang telah menonton, tentu masing-masing punya kesan tersendiri, dan bagi yang belum,...well, saya nggak akan menceritakan tentang film tersebut.
Kedua kata tersebut melambangkan dua konsep yang sering kita asosiasikan dengan karakteristik seseorang yang menjadi panutan, seorang manusia yang ideal (?). Banyak hal-hal lain yang kita juga atributkan ke sosok tersebut, seperti baik, ramah, dan lain-lain. Semua hal ini, adalah hal-hal yang kita percaya merupakan nilai-nilai baik yang kita percaya dimiliki oleh manusia, regardless of race, gender, nationality, religion. Kita juga percaya bahwa kualitas-kualitas tersebut tidak berkaitan dengan karakteristik fisik seorang manusia. Mereka adalah potensi terbaik yang ada dalam setiap manusia, dan merekalah yang menjadi dasar nilai hampir seluruh, bila tidak seluruh kebudayaan manusia yang ada di dunia.
Dalam masyarakat, kita mengenal nilai-nilai yang menggambarkan masyarakat tersebut. Nilai-nilai ini menjadi suatu tujuan dan ukuran atas perilaku manusia yang hidup di dalam masyarakat. Secara bersama, implisit maupun eksplisit, masyarakat setuju untuk menjunjung nilai-nilai ini dan menjaganya. Ini berarti bahwa para anggota masyarakat akan menilai anggota masyarakat lainnya berdasarkan pandangannya, sejauh mana anggota masyarakat tersebut melakukan tindakan-tindakan yang selaras dengan nilai-nilai yang mereka anut. Karena itu, masyarakat akan memberikan suatu incentive, berupa positive and negative reinforcement, untuk mendorong, mengikat dan memaksa anggota masyrakatnya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang mereka secara bersama percayai.
Sistem reinforcement ini beragam, dari yang berwujud sangat kabur dan fleksibel, sampai yang mempunyai definisi yang jelas dan rigid. Hukum adalah wujud sistem yang (seharusnya) memenuhi kriteria tersebut. Dalam hal ini, kita melihat hukum sebagai peraturan tertulis, yang telah diketahui semua orang, dan orang mengetahui pula konsekuensi-konsekuensi dari pelanggaran terhadap hukum tersebut. Disini kita mencoba mengkategorikan usaha-usaha reinforcement lewat segi konsekuensi reinforcement. Tetapi masyarakan pada suatu saat akan bertemu dengan masyarakat lainnya, dan akan berinteraksi. Interaksi ini juga merupakan interaksi antara sistem dan nilai-nilai yang berlaku di kedua masyarakat tersebut. Proses interaksi ini bisa sangat cepat maupun lambat, dimana kedua belah pihak mempunyai bargaining position yang relatif sama sampai sangat tidak seimbang. Saat itu, dan kemudian, akan terjadi peleburan sistem nilai, sehingga sistem nilai baru yang akan diperlukan menjadi lebih inklusif, dan (diharapkan) merepresentasikan kepentingan kedua belah pihak. Di sini, kita melihat usaha-usaha reinforcement sebagai suatu alat untuk membangun jembatan antara sub elemen dalam masyarakat, dari nilai-nilai yang eksklusif atas suatu kelompok sampai yang inklusif terhadap semua anggota masyarakat (individual - bukan kelompok).
Bila kita melihat cukup dekat dan dalam rentan waktu yang cukup lama, maka kita dapat melihat, bahwa sistem dan nilai dari sub elemen suatu masyarakat sebenarnya tidak pernah benar-benar melebur ke dalam sistem nilai universal (?) Yang lebih luas. Ia tetap hidup bersama, dan kadang kala, atau sering kali, berbenturan dengan sistem nilai dari sub elemen masyarakat yang lain, atau yang sistem nilai yang lebih luas tadi. Proses peleburan nilai sehingga nilai-nilai ke dalam sistem nilai baru membutuhkan waktu yang sangat lama (beberapa generasi) dan tidak akan begitu saja terjadi tanpa pertentangan (seringkali berakhir dalam kekerasan) dari pihak sub elemen yang merasa terancam, baik sistem mereka, nilai-nilai, atau identitas mereka. Pada masa transisi ini, diharapkan sistem universal akan menjadi pegangan utama dalam menentukan arah dan tujuan yang akan diambil oleh masyarakat. Ini hanya dapat tercapai bila memang anggota masyarakat benar-benar percaya bahwa sistem tersebut dapat dipercaya. Tanpa kepercayaan, sistem tersebut akan runtuh, dan para anggota masyarakat akan kembali ke sistem sub elemennya masing-masing, memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antara diri mereka.
Pada saat yang bersamaan, sistem tersebut juga harus cukup fleksibel, sehingga dapat mengakomodasi perubahan-perubahan yang diminta, dan melakukan apa yang harus dilakukan, sementara mempunyai cukup detil, sehingga dapat diaplikasikan dalam hampir semua masalah yang umumnya terjadi. Di sini kita melihat adanya stratifikasi sistem nilai, dari yang paling dasar dan umum, hingga yang paling khusus. Akan tetapi, tetap akan terjadi kasus-kasus dimana diperlukan perhatian khusus, dan memerlukan perubahan dan penambahan, terhadap sistem nilai, seperti yang diutarakan sebelumnya. Dan kasus-kasus yang menjadi perhatian penting masyarakat akan menjadi tolak ukur kepercayaan masyarakat. Bila hasil kasus tersebut tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka mereka akan kecewa, sementara bila sesuai, masyarakat tidak kecewa dan tidak juga puas. Kepuasan tersebut hanya dapat dicapai, bila kredibilitas sistem di mata masyarakat dibuktikan terus menerus selama jangka waktu yang cukup lama. Pada saat itu, masyarakat akan mempercayai kembali sistem nilai yang ‘baru’, dan mulai melepas nilai-nilai lama mereka.
Kasus di atas hanya dimungkinkan bila ada suatu keseimbangan relatif antara sub elemen masyarakat dengan lainnya, dan juga antara sub elemen masyarakat dengan sistem nilai ‘universal’ dalam masa transisi tadi. Disini demokrasi menjadi sangat penting, karena mungkin, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling dialogis, diantara semua sistem yang ada. Dan juga adalah sistem yang relatif cukup inklusif untuk dapat mengakomodasi hampir seluruh kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Dalam kasus di mana terjadi posisi yang tidak seimbang, maka pihak yang mempunyai advantage atas pihak lainnya, akan mencoba untuk memaksakan sistem dan nilai mereka sebagai sistem dan nilai yang superior daripada sistem nilai lainnya yang ada di masyarakat (yang tentu menurut mereka, inferior). Keuntungan ini dapat berupa faktor fisik, demografi, kapital, sumber daya dan lain-lain. Bila dilakukan cukup lama, maka nilai-nilai tersebut akan terambil juga oleh anggota masyarakat lainnya (juga mencakup beberapa generasi). Dalam hal ini, bila hal ini ingin dihindari, maka diperlukan suatu masa ‘penyadaran’ kembali sehingga terjadi kesepakatan dan kompromi antara kepentingan pihak-pihak dalam masyarakat, sebelum mencoba memasuki tahap transisi ke masyarakat baru dengan sistem nilai yang benar-benar merupakan keinginan semua pihak.
Ini mungkin memang suatu yang indah. Dan seperti semua hal indah dan baik yang dipercayai oleh manusia sebagai virtuenya, hal itu tetap akan menjadi sebuah mimpi.
Mimpi. Mimpi karena masyarakat (dan alam semesta) terus menerus berubah tiap saat. Dan tiap perubahan yang terjadi pada tiap saat tersebut mempunyai infinite variables dan menghasilkan infinite possibilities. Proses negosiasi nilai, sistem dan kepentingan antara elemen masyarakat tidak akan pernah berakhir. Akan selalu ada faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara mereka, baik faktor internal maupun internal. Tentu, ada saat-saat di mana terjadi ilusi kedamaian (yang sementara) di mana manusia terkecoh dan menyatakan keberhasilannya. Ini tidak lain hanyalah saat-saat dimana perilaku mayoritas elemen masyarakat relatif cukup sama sehingga tidak menghasilkan konflik baru. Tetapi konflik lama memang tidak pernah benar-benar selesai.
Manusia tidak akan pernah bisa memenuhi pengertian dari tiap konsep yang ia nyatakan sebagai ‘kodrat’ manusia. Konsep tersebut akan selalu ia rubah, baik suka rela maupun terpaksa. Baik oleh dirinya, atau pun keadaan. Jadi manusia, in the truest sense, adalah sesuatu yang exist. Manusia adalah sesuatu yang finite dalam alam yang serba infinite. Ia terus menerus mempertanyakan dan menolak apa yang ia percayai dan ketahui, apa yang menjadi definisi / konsep yang membangun dirinya dan alam semesta (menurut pandangan dirinya). Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih, dan kehendak untuk melakukan pilihan tersebut. Ia akan menanggung semua konsekuensi dari tindakan yang diambilnya (atau tidak diambilnya). Karena dengan tindakan yang ia lakukan tiap saat, ia yang menentukan kemana alam semesta bergulir, sadar atau tidak.
Dan ia melakukan semua itu karena ia exist. Karena ia perlu mengafirmasi eksistensinya. Dan manusia, entah bagaimana mengatribusikan eksistensinya di masa depan dengan sesuatu yang menurutnya lebih baik, lebih mulia, lebih tinggi, lebih...
Ia bermimpi.
For the dream that was Rome.
the edge of an existensialist universe.
Thursday, February 20, 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment