the edge of an existensialist universe.

Friday, July 04, 2003

We prefer not to know, because we cannot afford to care. We cannot care, because we're unable to look beyond ourselves and our views/bias. Ini adalah limitasi manusia dan pikirannya, sesuatu yang kita anggap lumrah dan terima.

But I, for that matter, will not accept that statement. Gue tidak mau menerima hal tersebut sebagai limitasi. I need to know, i need to care.

So again and again, i try to look beyond those, to shift focus quickly between things that are 'far' and 'near', between what my senses told me, and what my mind is filtering out. I try to become more aware, no matter how painful it may be. Masalahnya adalah biasanya nggak semua orang 'siap' mendengar atau menerima hal-hal seperti itu, karena yah, mereka 'belum' bisa peduli akan hal-hal tersebut. And sometimes i made mistakes too, kadangkala kecil, kadang besar. Tetapi bukankah something yang wajar dalam hidup, untuk berusaha dan kemudian melakukan kesalahan, hanya untuk, setelah jangka waktu yang cukup lama, melakukan kesalahan yang sama? Apalagi bila 'kita' menerima limitasi yang telah 'diberikan' kepada kita dan pikiran kita?

Seriously, walaupun even i kadang-kadang sering blurted out what i feel, think and mean, bukan berarti itu salah/benar. It just a glimpse into myself, sesuatu yang bisa saja disalah artikan bila konteks yang digunakan 'berbeda' antara you and me. Terutama bila the other person is preoccupied with something else, sehingga reaksi yang dikeluarkan/dirasakan pertama adalah dari konteks person tersebut, bukan mine.

Awareness juga mencakup ini, dan seringkali ini berarti menahan 'dongkol' and jengkel yang sudah sampai ubun kepala atau kerongkongan untuk mencoba mengerti apa yang the other person actually is saying.

Personally, itu kenapa gue cukup 'kagum' sama keberanian Trent Reznor and his lyrics yang seringkali membawa orang untuk melihat kembali what does it mean to be human, what does it mean to feel? Dengan memperbesar stimuli salah satu senses, dalam hal ini 'pain', kita melakukan sensory overload sehingga pikiran kita terdesak oleh stimuli tersebut. Pada saat seperti ini (terdesak), apa yang kita ucapkan/lakukan umumnya benar-benar berasal dari dalam, something that is truly you, yang lo mungkin nggak pernah sadar, atau sembunyikan dalam-dalam. In other words, pain, disini sebagai salah satu contoh sensory overload, adalah mekanisme untuk 'mengeluarkan' kebenaran yang ada di dalam.

Pain juga mengingatkan kita bahwa we still 'feel'. Dan itu biasanya berarti kita masih hidup, walau mungkin tidak 'hidup' sebagaimana kita mau.

Itu mengapa gue akan tetap memilih to know, to feel. Even when it left feeling like shit for the rest of your life. Or be treated like one. Karena for just one moment, one moment that is yours, you know what it is 'to feel'.

'you could have it all, my empire of dirt
i would let you down, i would make you hurt

i wear this crown of shit upon my liars chair
full of broken thoughts i cannot repair
beneath the stains of time the feelings dissapear
you are somewhere else i am still right here

what have i become, my sweetest friend
everyone i know goes away in the end'

No comments:

Post a Comment